Mendung. Semburat biru menjadi
kelabu. Burung-burung berarakan, serbu singgahsananya di atas pepohonan.
Langit seakan-akan lukiskan kecemasanku, detail demi detailnya. Sayang
langit, hanyalah sebuah langit, sampai kapanpun akan tetap menjadi langit.
“Kamu
mau pulang ndak liburan ini?” SMSnya begitu mengejutkanku. Tidak biasanya dia
menanyakan hal demikian. Tapi.. aku
senang.
“Iya.”
Kirim. Sayang hanya dapat ku jawab demikian.
“Kalau
mau pulang bareng, nanti aku beli tiket keretanya. Tapi aku ga bisa pinjami
kamu uang. Uangku habis. Besok kamu kasih uangnya ya.”
Jujur,
sebenarnya aku suka dengan tawarannya. Namun aku juga takut jika harus pergi dengan dia, berdu saja.
“Aku malu ketemunya” Kirim. Batalkan. Pesan tidak jadi di kirim. “Uangnya aku
taruh di laci meja guru, kamu ambil sendiri, nanti pulang sekolah.” Kirim. “Minta
petugas tiketnya buat kasih tempat yang agak jauh ya.” Kirim.
Sekolahku
jauh. Di provinsi tetangga. Aku hidup berasrama, juga Zamir. Peraturan asrama
melarang kami untuk membawa barang elektronik. Aku tidak melanggarnya, juga
Zamir. Zamir menghubungiku menggunakan ponsel temannya pada ponsel temanku untuk di sambungkan
padaku. Haha. Cukup ribet. Tapi aku menyukainya. Zamir. Aku sangat menyukainya
tapi entah bagaimana dia.
Tiga bocah sedang berlarian diatas
rel kereta. Begitu riangnya. Pada genggamannya kudapati beberapa bundle koran untuk di
jajakan namun mereka salah gunakan sebagai alat pemukul. Petugas stasiun mendekati
mereka, meingatkan mereka untuk menjauhi area rel kereta. “Bahaya”, ujarnya. Namun
tidak sama sekali mereka indahkan
peringatannya.
Seorang bocah tidak sengaja
menjatuhkan korannya di tanah, saat ingin mengambilnya kembali, sepasang
kaki dengan eloknya melayangkan
sepatunya di atas Koran tersebut. Kaki itu milik petugas statsiun yang telah
menegur mereka tadi. Sang bocah berteriak, namun petugas stasiun hanya acuh tak
acuh. Terdapat guratan kekecewaan di wajah sang bocah. Namun tidak lama ia
kembali bergabung dengan temannya. Saling memukul dan tertawa.
Sebuah pemandangan bermakna. Ketidak
adilan dunia. Orang besar semena-menanya memperlakukan orang kecil. Sekaligus
bukti keadilan Tuhan. Kebahagiaan, sampai kapanpun tidak akan memandang status
sosial.
“Fir,
aku sudah beli tiketnya. Tapi maaf ya, fir. Aku mau kasih tau sesuatu sama
kamu. Kamu jangan bilang siapa-siapa ya. Teman-temanmu juga.” Malam ini ku
dapati kembali smsnya pada handphone teman yang sama.
“iya,
InsyaAllah. Ada apa?” Kirim. Aku penasaran, merasa ada sesuatu yang buruk.
Semoga hanya dugaanku.
“Tadi
aku sudah bilang mbaknya buat kasih tempat yang agak jauh. Tapi ternyata nggak
bisa. Mbaknya kasih bangku kereta 7a dan 7b” Tanganku menjadi dingin. Maasya Allaah...
Dugaanku benar. Terasa di sambar petir. Bagaimana bisa aku dan dia dalam satu
bangku, hanya berdua(di depan dinding,
di samping kamar mandi) selama lima jam perjalanan.
Setan
membisikiku, Bukankah kamu mencintainya? Bukankah ini yang sangat kamu inginkan,
Fir? Ah,iya. Benar. Aku mencintainya.Aku juga menginginkan cintanya. Tapi tidak
dengan cara seperti ini. Allaah..
Aku penghuni asrama terakhir yang tertinggal. Teman-teman sudah kembali ke kampung halaman. Sambil mempersiapkan barang bawaan, aku membayangkan. Bagaimana nanti? Bagaimana nasibku dengan Zamir. Bukankah kami belum akrab? Lalu apa yang akan kami bicarakan nanti? Ah, aku sedih. Aku senang. Hehe. Dilema.
“Assalam’alaikum,
Zamir. Sepertinya mau hujan. Ayo berangkat.” Kalimatku yang beruntut. Deg-degan
sekali, ini kali pertama aku meneloponnya. Sebenarnya takut tapi aku pikir
untuk menelepon asramanya terlebih
dahulu sebelum berangkat menuju stasiun bukan ide yang buruk.
“Wa’alaikumussalam.
Iya fir. Kamu berangkat duluan aja”
“Oh,
Oke. Assalamu’alalaikum.” Huah, cukup legah rasanya.
Tidak terasa sudah setengah jam aku duduk disini. kaca jendela membasah. Gerimis, membuatku semakin cemas. Tanpa ponsel rasanya susah sekali. Dimana dia? Imajinasiku terbang kemana-mana.Ku alihkan pandangan keluar jendela. Mereka, bocah-bocah itu telah pergi. Semoga kebahagian senantiasa menyentuh hati mereka.
Tersadar akan lamunanku. Kini kedua pipiku menjadi basah. Segera kubasuh dengan ujung jilbabku.
“Buk.. Buk..” Tiba-tiba suara langkah kaki
terdengar dari kejauhan. Semakin lama, semakin dekat. Ku dongkakkan kepalaku.
Zamir disana. Hatiku berdegup tidak
karuan. Ah, permainan macam apa ini?
“Aku duduk, ya?”, dan aku hanya terbungkam.
2 komentar:
aku tau, aku tau !
aku tau cerita selanjutnya :D
oh ya? haha. ceritanya sudah pasaran ih berarti :D
Posting Komentar