Rabu, 27 Juni 2012

Gerimis dalam Kereta part 2


Tidak terasa sudah setengah jam aku duduk disini. kaca jendela membasah. Gerimis, membuatku semakin cemas. Tanpa ponsel rasanya susah sekali. Dimana dia? Imajinasiku terbang kemana-mana.Ku alihkan pandangan keluar jendela. Mereka, bocah-bocah itu telah pergi. Semoga kebahagian senantiasa menyentuh hati mereka.
Tersadar akan lamunanku. Kini kedua pipiku menjadi basah. Segera kubasuh dengan ujung jilbabku. 
“Buk.. Buk..” Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Semakin lama, semakin dekat. Ku dongkakkan kepalaku.
Zamir disana. Hatiku berdegup tidak karuan. Ah, permainan macam apa ini?
“Aku duduk, ya?”,  dan aku hanya terbungkam. Haruskah ku iyakan pertanyaannya? Ini keadaan darurat kah? Ya Allah, aku galauuu…

            “Assalamu’alaikum. Anak SMPIT, ya?” seorang wanita berjilbab memecahkan keheningan kami. Alhamdulillah, batinku.
“Wa’alaikumussalam. Iya, mbak.”, merasa kenal dengan si mbak cantik ini. Siapa ya?
“Saya kakaknya shofi dek. Kamu temannya Shofi, kan?”
Ah, iya. Dia kakaknya Shofi, teman sekelasku. Beliau sekolah di SMAIT. Kalau tidak salah ingat, beliau tiga tahun di atasku, hmm.. sudah kelas XII. “Iya mbak, aku fira. Mbak Aisyah, ya?”
“Iya. Mau pulang ya dek?” sekilas Mbak Aisyah melirik Zamir.”Sama temannya yang ini?”,lalu tersenyum pada Zamir.
Zamir menjadi canggung di beri pertanyaan demikian, segera ia mengobatinya dengan menunduk mafhum.
Aku berusaha untuk tidak terlihat tegang, “, iya, mbak, ini teman satu angkatan. Kebetulan kita searah”
“Yaudah, mbak ke gerbong belakang ya. Tempat mbak disana.” Beliau pergi meninggalkan senyuman.
“Sebentar, mbak!” aku yang memanggilnya setengah berteriak, membuat langkahnya terhenti. Aku berjalan mendekati Mbak Aisyah. Membisikinya sesuatu.
Beliau tersenyum dan mengangguk. “Oh, iya dek. Tapi aku turun Madiun, dek. Kamu kan di Surabaya”
“Nggak papa mbak.”, ujarku.
Mbak Aisyah menyodorkan tiketnya padaku. Aku memberikannya pada Zamir. Ia terlihat bingung. “kamu di tempatnya Mbak Aisyah, ya?”, jelasku.
“Oalah, iya. Tapi nanti kalau pak petugasnya nanya-nanya gimana?”
Sebenarnya aku juga memikirkan hal itu, tapi… “Ngga masalah, zam.” Semoga.
Aku jadi merasa bersalah. Zamir yang baru datang, basah-basahan, kehujanan, malah aku usir. Hehe. It’s okay, lah. Meniru sebaris kalimat dalam puisi milik Zamir, “Insya Allah it is the best for us”. Semoga.
Langit mulai petang. Sudah dua jam perjalanan. Lapar. Kubuka tas kecilku, berbagai macam makanan ringan disana. Mbak Aisyah sukanya snack apa ya? Aku sangat suka dengan berbagai jenis keju. Semoga beliau juga suka dengan snack keju ini.
Ku sodorkan snack keju tersebut pada mbak Aisyah. “Mbak Aisy…” Kalimatku terhenti. Kulihat mbak Aisyah sedang khusyu’ dalam dzikirnya. Kembali ku buka tas kecilku, sebuah buku mungil bertuliskan “Al-Ma’tsurat, dzikir pagi dan sore” menggantikan snack keju dalam genggamanku. Sejenak aku terhanyut di dalamnya.
Saat ku buka mataku, tak kutemukan Mbak Aisyah di sampingku. Juga tasnya. Sepertinya kereta sudah melewati Madiun. Aku tadi tertidur pulas sekali, kah?
Sekarang aku duduk sendiri. Bosan. Aku ambil map berisi soal-soal UNAS tahun lalu. Soal pertama ku buka adalah soal matematika. Seperti yang ku tuliskan pada dinding kamarku, I love Math. Mulai pusing dengan angka-angka, aku berpindah pada biologi.
“Ini baca koran” Suara Zamir mengagetkanku. Ia menyodorkanku se bundle koran lalu pergi lagi. Ku letakkan koran itu di atas bangku. Aku tidak tertarik dengan berbagai jenis koran dan berita-berita di dalamnya.
Kembali aku fokuskan pada soal biologi. Inseminasi buatan adalah… Hehe. Apa ya? Perasaan guru bilogi belum pernah jelasin ini, deh.
“Jangan belajar terus, baca korannya.” Lagi-lagi dia datang tiba-tiba. Mondar-mandir, nggak jelas! Tapi aku suka. Dasar!
“males, hehe”, jawabku terang-terangan.
Dia meninggalkanku lagi. Tidak sampai satu menit, dia kembali ke tempatku, mengambil koran di sampingku. Lalu pergi lagi. Lalu datang lagi. Pergi lagi dan datang lagi. Hingga beberapa kali.
“Aku duduk sini, ya?”
Kali ini aku tidak berpikir panjang lagi. “iya”, jawabku.
To be continued

1 komentar:

spot litezzz mengatakan...

Bagus bgt ceritanya mb annisa.. terus berkarya nggeh, kita selalu mendukung mbk ;p