Tidak
terasa sudah setengah jam aku duduk disini. kaca jendela membasah. Gerimis,
membuatku semakin cemas. Tanpa ponsel rasanya susah sekali. Dimana dia?
Imajinasiku terbang kemana-mana.Ku alihkan pandangan keluar jendela. Mereka,
bocah-bocah itu telah pergi. Semoga kebahagian senantiasa menyentuh hati
mereka.
Tersadar akan lamunanku. Kini kedua
pipiku menjadi basah. Segera kubasuh dengan ujung jilbabku.
“Buk.. Buk..” Tiba-tiba suara
langkah kaki terdengar dari kejauhan. Semakin lama, semakin dekat. Ku dongkakkan
kepalaku.
Zamir disana. Hatiku berdegup tidak
karuan. Ah, permainan macam apa ini?
“Aku duduk, ya?”, dan aku
hanya terbungkam. Haruskah ku iyakan pertanyaannya? Ini keadaan darurat kah? Ya
Allah, aku galauuu…
“Assalamu’alaikum. Anak SMPIT, ya?” seorang wanita berjilbab memecahkan keheningan kami. Alhamdulillah, batinku.
“Wa’alaikumussalam. Iya, mbak.”,
merasa kenal dengan si mbak cantik ini. Siapa ya?
“Saya kakaknya shofi dek. Kamu
temannya Shofi, kan?”
Ah, iya. Dia kakaknya Shofi, teman
sekelasku. Beliau sekolah di SMAIT. Kalau tidak salah ingat, beliau tiga tahun
di atasku, hmm.. sudah kelas XII. “Iya mbak, aku fira. Mbak Aisyah, ya?”
“Iya. Mau pulang ya dek?” sekilas
Mbak Aisyah melirik Zamir.”Sama temannya yang ini?”,lalu tersenyum pada Zamir.
Zamir menjadi canggung di beri pertanyaan demikian, segera ia mengobatinya dengan menunduk mafhum.
Zamir menjadi canggung di beri pertanyaan demikian, segera ia mengobatinya dengan menunduk mafhum.
Aku berusaha untuk tidak terlihat
tegang, “, iya, mbak, ini teman satu angkatan. Kebetulan kita searah”
“Yaudah, mbak ke gerbong belakang
ya. Tempat mbak disana.” Beliau pergi meninggalkan senyuman.
“Sebentar, mbak!” aku yang
memanggilnya setengah berteriak, membuat langkahnya terhenti. Aku berjalan
mendekati Mbak Aisyah. Membisikinya sesuatu.
Beliau tersenyum dan mengangguk.
“Oh, iya dek. Tapi aku turun Madiun, dek. Kamu kan di Surabaya”
“Nggak papa mbak.”, ujarku.
Mbak Aisyah menyodorkan tiketnya
padaku. Aku memberikannya pada Zamir. Ia terlihat bingung. “kamu di tempatnya
Mbak Aisyah, ya?”, jelasku.
“Oalah, iya. Tapi nanti kalau pak
petugasnya nanya-nanya gimana?”
Sebenarnya aku juga memikirkan hal
itu, tapi… “Ngga masalah, zam.” Semoga.
Aku jadi merasa bersalah. Zamir yang
baru datang, basah-basahan, kehujanan, malah aku usir. Hehe. It’s okay, lah.
Meniru sebaris kalimat dalam puisi milik Zamir, “Insya Allah it is the best for
us”. Semoga.
Langit mulai petang. Sudah dua jam
perjalanan. Lapar. Kubuka tas kecilku, berbagai macam makanan ringan disana.
Mbak Aisyah sukanya snack apa ya? Aku sangat suka dengan berbagai jenis keju. Semoga
beliau juga suka dengan snack keju ini.
Ku sodorkan snack keju tersebut pada
mbak Aisyah. “Mbak Aisy…” Kalimatku terhenti. Kulihat mbak Aisyah sedang
khusyu’ dalam dzikirnya. Kembali ku buka tas kecilku, sebuah buku mungil
bertuliskan “Al-Ma’tsurat, dzikir pagi dan sore” menggantikan snack keju dalam
genggamanku. Sejenak aku terhanyut di dalamnya.
Saat ku buka mataku, tak kutemukan
Mbak Aisyah di sampingku. Juga tasnya. Sepertinya kereta sudah melewati Madiun.
Aku tadi tertidur pulas sekali, kah?
Sekarang aku duduk sendiri. Bosan.
Aku ambil map berisi soal-soal UNAS tahun lalu. Soal pertama ku buka adalah
soal matematika. Seperti yang ku tuliskan pada dinding kamarku, I love Math. Mulai pusing dengan
angka-angka, aku berpindah pada biologi.
“Ini baca koran” Suara Zamir
mengagetkanku. Ia menyodorkanku se bundle
koran lalu pergi lagi. Ku letakkan koran itu di atas bangku. Aku tidak
tertarik dengan berbagai jenis koran dan berita-berita di dalamnya.
Kembali aku fokuskan pada soal
biologi. Inseminasi buatan adalah… Hehe. Apa ya? Perasaan guru bilogi belum
pernah jelasin ini, deh.
“Jangan belajar terus, baca
korannya.” Lagi-lagi dia datang tiba-tiba. Mondar-mandir, nggak jelas! Tapi aku suka. Dasar!
“males, hehe”, jawabku
terang-terangan.
Dia meninggalkanku lagi. Tidak
sampai satu menit, dia kembali ke tempatku, mengambil koran di sampingku. Lalu
pergi lagi. Lalu datang lagi. Pergi lagi dan datang lagi. Hingga beberapa kali.
“Aku duduk sini, ya?”
Kali ini aku tidak berpikir panjang
lagi. “iya”, jawabku.
To be continued
1 komentar:
Bagus bgt ceritanya mb annisa.. terus berkarya nggeh, kita selalu mendukung mbk ;p
Posting Komentar