Selasa, 08 Maret 2011

Bayang-bayang Ipul


Untuk kesekian kalinya aku melihatnya, diujung kamarku. Ia kenakan pakaian yang sama seperti sebelumnya. Celana komprang dan T-shirt coklat. Seperti sebelumnya pula, ia diam. Tidak bergerak apalagi berbicara. Dan lihat! Wajahnya begitu  lusuh, sepertinya air tidak menyentuhnya berhari-hari. Kudapati bercak-bercak coklat pada pakaiannya.  Kukunya panjang dan kotor. Kulitnya kecoklatan, membuatnya semakin pantas untuk disebut ‘dekil’. Menatapnya, membuatku prihatin. Ingin rasanya kulangkahkan kaki untuk mendekatinya. Aku ingin mengenalnya. Tapi entah mengapa bulu kudukku selalu dibuatnya berdiri.

Malam-malam sebelumnya, aku membiarkannya bertengger diujung sana. Kuatupkan mata, tanpa menghiraukannya. Ditengah malam aku terjaga untuk sementara. Kulihat ia masih tetap pada tempatnya. Tetap diam. Namun saat adzan subuh berkumandang, tak kudapati lagi sosoknya. Begitu seterusnya. Ia membuatku semakin penasaran.

Untuk malam ini, tak kan kubiarkan rasa penasaran mengahantuiku. Kubulatkan tekad. Aku berjalan  mendekat . Terasa alat pijakku sedikit bergetar. Semakin ku mendekat. Getarannya semakin kuat. Aku takut, sungguh. Aku mundur selangkah. Tiba-tiba ia mendongkak, menatapku. Deg! Jantungku berdegup kencang. Kini bibirku yang bergetar. Namun kucoba memberanikan diri. “Hai”, sapaku. Ia diam. Kecewa. Tiga detik kemudian kutemukan sunggingan di kedua ujung bibirnya. Ia tersenyum. Hei, Senyumnya begitu manis.

*****

                Pagi ini ummi membuat menu sarapan kesukaanku. Telur dadar dengan sosis didalamnya. Aroma telur dadar sosis semerbak diatas penggorengan. Terasa air liur menumpuk di ujung mulutku. Dengan langkah terseok-seok aku meraih sudip kayu ditangan ummi. Aku tidak memiliki kaki yang sempurna seperti kebanyakan orang. Aku lumpuh sejak lahir. “Biar Hanna yang masak, mi”.
                Ummi tersenyum. “ Hati-hati dong sayang jalannya. Iya hanna yang masak, tapi jangan sampai gosong ya, sayang”.
                “Beres mi...” selalu saja ummi berkata seperti itu. Tapi memang tidak dapat dipungkiri, berkali-kali aku menghitamkan alat masak karena lupa mematikan api kompor.
                Sejurus kemudian telur dadar sosis terhidang di atas meja makan. Potongan tomat berbentuk bunga diletakkan diatasnya. Membuatnya menjadi manis.
                “wah, anak abi habis masak nih. Enak nggak ya?” abi menyambar piring diatas meja beserta nasi dan telur dadar sosis.
                “ya enak dong, bi. Cobain deh” aku mengikuti gerak tangan abi.
                “oke, bismillahirrahmanirrahim. Allahumma baariklana fiima rozaqtana. Waqina adza bannar” sesendok nasi dan lauknya dilahap oleh abi.
                “gimana bi?” ujarku berbinar-binar.
                “hm.. gimana ya..?” keningku mengkerut. “enak kok sayang”
                “horeeee” ujarku kegirangan.
                “iya dong, siapa dulu abinya. Hehe”
                “idih. Ge-er” cibirku. “hm, abi ummi..”
                “iya sayang” jawab abi dan ummi bersamaan.
                Aku menarik nafas. “hm, tadi malam aku...”
                “We just have to
     Open our eyes, our hearts, and minds
    If we just look bright to see the signs...”  alunan ringtone maher zain di handphone abi memotong percakapan kami. 

“wa’alaikumussalam... Oh, iya pak... Iya. Sekarang saya kesana... terimakasih... Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh” sepertinya itu panggilan dari bosnya abi. “ummi, tolong disiapkan baju abi ya. Ini ani ada panggilan meeting”.
Mereka beranjak dari meja makan.  Yasudah mungkin lain kali saja, pikirku.
                                                                  *****
                Ini malam kedua aku mendekatinya. Walaupun begitu, aku sudah mulai mengakrabkan diri dengan Ipul. Oh iya, namanya Ipul. Ia yatim-piatu sejak berumur 5 tahun. Hingga kini, ipul tidak memiliki tempat tinggal tetap. Ia menjelajah dimana-mana.  Ipul lebih tua satu tahun dariku. Seharusnya sekarang dia berada di tahun kedua sekolah menegah pertama. Tetapi dia putus sekolah. Ipul tidak bercerita mengapa ia tidak bersekolah lagi dan akupun tidak menanyakannya, menurutku itu masalah pribadinya. Harusnya aku bersyukur, walaupun aku tidak memiliki alat pijak yang sempurna tetapi aku masih memiliki keluarga yang lengkap dan aku masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu.
Selama 12 tahun ini, aku belum pernah memiliki seorang teman yang dekat denganku.  Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul. Kuper, begitulah istilah kasarnya.  Tetapi entah mengapa aku sudah merasa akrab dengan ipul. Dia anak yang baik, rendah  hati. Tidak seperti teman-temanku yang seringkali memamerkan barang-barang berharga yang notabene milik orang tua mereka.
Seperti biasa, aku terbangun ditengah malam. Kutengok ujung kamar, tempat Ipul seperti biasa. Tak kutemukan sosoknya. Plok! Ada yang menyentuh pundakku. Ak terkejut. Itu Ipul. Ia tertawa kecil melihat ekspresiku. Namun tidak menyakitkan hatiku. Aku suka dengan tawanya yang sangat irit itu. Ternyata Ipul berniat membangunkanku. Ia memintaku untuk melaksanakan shalat tahajud. Sepertinya sudah lama aku tidak sujud disepertiga malam terakhir. Aku iyakan permintaannya. Aku juga memintanya untuk berjama’ah denganku. Namun ia mengtakan bahwa ia sudah selesai tahajud.
Di rakaat kedelapan mataku memanas. Susah sekali menegakkan badan untuk witir tiga rakaat. Ku letakkan kepala diatas sajadah. Sebentar. Sebentar saja.
“Hanna, bangun yuk. Sudah subuh, sayang” suara ummi terdengar lembut tetapi mampu meregangkan otot mataku. Di aatas sajadah dengan mukenah yang masih menempel di tubuhku. Rupanya aku tertidur.
“habis tahajud ya, sayang. Wah, anak ummi memang solehah” puji ummi sambil membelai kepalaku. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Kuputar kepala hingga 300 derajat.  Mataku menjelajahi seluruh isi kamar. Tidak ada. Dia sudah pergi.

To be continue




5-03-11
-AL-

Tidak ada komentar: