Mendung. Semburat biru menjadi
kelabu. Burung-burung berarakan, serbu singgahsananya di atas pepohonan.
Langit seakan-akan lukiskan kecemasanku, detail demi detailnya. Sayang
langit, hanyalah sebuah langit, sampai kapanpun akan tetap menjadi langit.
“Kamu
mau pulang ndak liburan ini?” SMSnya begitu mengejutkanku. Tidak biasanya dia
menanyakan hal demikian. Tapi.. aku
senang.
“Iya.”
Kirim. Sayang hanya dapat ku jawab demikian.
“Kalau
mau pulang bareng, nanti aku beli tiket keretanya. Tapi aku ga bisa pinjami
kamu uang. Uangku habis. Besok kamu kasih uangnya ya.”
Jujur,
sebenarnya aku suka dengan tawarannya. Namun aku juga takut jika harus pergi dengan dia, berdu saja.
“Aku malu ketemunya” Kirim. Batalkan. Pesan tidak jadi di kirim. “Uangnya aku
taruh di laci meja guru, kamu ambil sendiri, nanti pulang sekolah.” Kirim. “Minta
petugas tiketnya buat kasih tempat yang agak jauh ya.” Kirim.
Sekolahku
jauh. Di provinsi tetangga. Aku hidup berasrama, juga Zamir. Peraturan asrama
melarang kami untuk membawa barang elektronik. Aku tidak melanggarnya, juga
Zamir. Zamir menghubungiku menggunakan ponsel temannya pada ponsel temanku untuk di sambungkan
padaku. Haha. Cukup ribet. Tapi aku menyukainya. Zamir. Aku sangat menyukainya
tapi entah bagaimana dia.