Kamis, 14 Juni 2012

Gerimis dalam Kereta part 1


Mendung. Semburat biru menjadi kelabu. Burung-burung berarakan, serbu singgahsananya di atas  pepohonan.  Langit seakan-akan lukiskan kecemasanku, detail demi detailnya. Sayang langit, hanyalah sebuah langit, sampai kapanpun akan tetap menjadi langit.



“Kamu mau pulang ndak liburan ini?” SMSnya begitu mengejutkanku. Tidak biasanya dia menanyakan hal demikian. Tapi..  aku senang.
“Iya.” Kirim. Sayang hanya dapat ku jawab  demikian.
“Kalau mau pulang bareng, nanti aku beli tiket keretanya. Tapi aku ga bisa pinjami kamu uang. Uangku habis. Besok kamu kasih uangnya ya.”
Jujur, sebenarnya aku suka dengan tawarannya. Namun aku juga  takut jika harus pergi dengan dia, berdu saja. “Aku malu ketemunya” Kirim. Batalkan. Pesan tidak jadi di kirim. “Uangnya aku taruh di laci meja guru, kamu ambil sendiri, nanti pulang sekolah.” Kirim. “Minta petugas tiketnya buat kasih tempat yang agak jauh ya.” Kirim.
Sekolahku jauh. Di provinsi tetangga. Aku hidup berasrama, juga Zamir. Peraturan asrama melarang kami untuk membawa barang elektronik. Aku tidak melanggarnya, juga Zamir. Zamir menghubungiku menggunakan ponsel temannya  pada ponsel temanku untuk di sambungkan padaku. Haha. Cukup ribet. Tapi aku menyukainya. Zamir. Aku sangat menyukainya tapi entah bagaimana dia.



Tiga bocah sedang berlarian diatas rel kereta. Begitu riangnya. Pada genggamannya kudapati beberapa bundle koran untuk di jajakan namun mereka salah gunakan sebagai alat pemukul. Petugas stasiun mendekati mereka, meingatkan mereka untuk menjauhi area rel kereta. “Bahaya”, ujarnya. Namun tidak sama sekali mereka  indahkan peringatannya.
Seorang bocah tidak sengaja menjatuhkan korannya di tanah, saat ingin mengambilnya kembali, sepasang kaki dengan eloknya melayangkan sepatunya di atas Koran tersebut. Kaki itu milik petugas statsiun yang telah menegur mereka tadi. Sang bocah berteriak, namun petugas stasiun hanya acuh tak acuh. Terdapat guratan kekecewaan di wajah sang bocah. Namun tidak lama ia kembali bergabung dengan temannya. Saling memukul dan tertawa.
Sebuah pemandangan bermakna. Ketidak adilan dunia. Orang besar semena-menanya memperlakukan orang kecil. Sekaligus bukti keadilan Tuhan. Kebahagiaan, sampai kapanpun tidak akan memandang status sosial.



“Fir, aku sudah beli tiketnya. Tapi maaf ya, fir. Aku mau kasih tau sesuatu sama kamu. Kamu jangan bilang siapa-siapa ya. Teman-temanmu juga.” Malam ini ku dapati kembali smsnya pada handphone teman yang sama.
“iya, InsyaAllah. Ada apa?” Kirim. Aku penasaran, merasa ada sesuatu yang buruk. Semoga hanya dugaanku.
“Tadi aku sudah bilang mbaknya buat kasih tempat yang agak jauh. Tapi ternyata nggak bisa. Mbaknya kasih bangku kereta 7a dan 7b” Tanganku menjadi dingin. Maasya Allaah... Dugaanku benar. Terasa di sambar petir. Bagaimana bisa aku dan dia dalam satu bangku,  hanya berdua(di depan dinding, di samping kamar mandi) selama lima jam perjalanan.
Setan membisikiku, Bukankah kamu mencintainya? Bukankah ini yang sangat kamu inginkan, Fir? Ah,iya. Benar. Aku mencintainya.Aku juga menginginkan cintanya. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Allaah..



Aku penghuni asrama terakhir yang tertinggal. Teman-teman sudah kembali ke kampung halaman. Sambil mempersiapkan barang bawaan, aku membayangkan. Bagaimana nanti? Bagaimana nasibku dengan Zamir. Bukankah kami belum akrab? Lalu apa yang akan kami bicarakan nanti? Ah, aku sedih. Aku senang. Hehe. Dilema.
“Assalam’alaikum, Zamir. Sepertinya mau hujan. Ayo berangkat.” Kalimatku yang beruntut. Deg-degan sekali, ini kali pertama aku meneloponnya. Sebenarnya takut tapi aku pikir untuk menelepon asramanya  terlebih dahulu sebelum berangkat menuju stasiun bukan ide yang buruk.
“Wa’alaikumussalam. Iya fir. Kamu berangkat duluan aja”
“Oh, Oke. Assalamu’alalaikum.” Huah, cukup legah rasanya.


Tidak terasa sudah setengah jam aku duduk disini. kaca jendela membasah. Gerimis, membuatku semakin cemas. Tanpa ponsel rasanya susah sekali. Dimana dia? Imajinasiku terbang kemana-mana.Ku alihkan pandangan keluar jendela. Mereka, bocah-bocah itu telah pergi. Semoga kebahagian senantiasa menyentuh hati mereka.
Tersadar akan lamunanku. Kini kedua pipiku menjadi basah. Segera kubasuh dengan ujung jilbabku. 
“Buk.. Buk..” Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Semakin lama, semakin dekat. Ku dongkakkan kepalaku.
Zamir disana. Hatiku berdegup tidak karuan. Ah, permainan macam apa ini?
“Aku duduk, ya?”,  dan aku hanya terbungkam.



to be continued

baca : Gerimis dalam Kereta part 2

2 komentar:

Lidiya mengatakan...

aku tau, aku tau !
aku tau cerita selanjutnya :D

Ishmah Rafidatuddini mengatakan...

oh ya? haha. ceritanya sudah pasaran ih berarti :D