Senin, 16 Mei 2011

Takut

 Dan sekali lagi aku melihatnya. Pemandangan yang tak asing bagiku. Mereka dengan kesibukannya. Keluar rumah, singgah dalam waktu yang cukup lama. Awal waktu aku merasa kesal. Seenaknya saja mereka meninggalkan kami berempat, aku dengan 3 adikku. Sebagai sulung, tangung jawabku besar terhadap mereka. Kesalahan besar jika aku tidak bisa mengayomi mereka dengan baik. Kesalahan besar jika aku menelantarkan mereka, tanpa makan, bekal sekolah, dan membiarkan mereka tidak bebersih diri. Namun aku masih tidak dapat memenuhi tugasku sebagai apa yang Dia berikan kepadaku. Jiwa kekanak-kanakan masih melekat pada diriku. Aku masih belum bisa bersikap dewasa.
            Suatu saat, ketika kami diberi kesempatan untuk sarapanpagi bersama.
Ibu berkata, “wah, rambut ibu warnanya udah kayak abu-abu gini ya. Hitam campur putih.”

            “lha memang dasarnya Ibu sudah tua”. Jawab ayah dengan nada bercanda.
            “tapi kan ibu masih cantik” ujarku, aku mulai merasa tidak enak dengan pembicaraan ini.
            “mbak, harus siap kalo nanti ibu pergi” sahut ayah.
            “ngga mau” jantungku berdegup kencang.
            “lho, kok bisa nggak mau. Itu pasti terjadi, mbak” jantungku berdegup semakin kencang.
            Ku percepat makanku dan segera bersiap untuk pergi bersekolah. Tak lupa mencium punggung tangan mereka. Dan sekali lagi, jantungku berdegup tidak karuan. Ya Allah, inilah bukti ketidak dewasaanku. Bahkan ini hanyalah ebuah kalimat. Bagaimana jika kalimat itu menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi? Astaghfirullah, aku belum siap.

            Mata pelajaran matematika dan Bahasa Indonesia terasa begitu cepat. Bel istirahat membuyarkan lamunanku. Aku berlari, kesebuah tempat, dimana selalu kutemukan ketenangan didalamnya.
            Ini adalah kali keduaku memasuki ruangan ini dengan perasaan tidak karuan. Sama seperti kemarin, disaat ruangan ini banjir karena bendungan  mataku telah ambrol. Seperti kemarin juga, ruangan ini sepi. Tak berpenghuni. Ku raih sebuah bantal kapuk dan meletakkannya pada pelukanku.
            Sejenak aku tersenyum. Melihat sudut-sudut ruangan ini. Dua buah etalase berisi dokumen-dokumen penting. Beberapa rebana berserakan, sperti habis digunakan. Satu set komputer yang sepertinya lama tidak digunakan karena rusak. sebuah rak sepatu, yang dialih fungsikan menjadi rak buku. tidak seindah pemandangan dari puncak gunung atau tepi pantai. namun pemandangan ini menenangkan.
            Tidak lama, pikiranku kembali melayang. mulai terbayang akan nilai-nilaiku, rapor sisipanku, targetku, cita-citaku, ayah, ibu, beserta impian mereka akan diriku kelak. Ya rabb, aku takut. Aku takut. Aku takut. Takut sekali. Aku takut akan setetes air mata yang jatuh pada pipi kedua orang tuaku karena kekecewaan mereka padaku. Aku takut. Takut sekali.

1 komentar:

Ishmah Rafidatuddini mengatakan...

baca tulisan ini lagi jadi sedih